Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan

Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan Suhermanto Ja'far. Foto: dok. pribadi

Mitos Khittah NU 1926 menimbulkan sebuah perdebatan yang berkelanjutan setiap pemilu dari masa ke masa, termasuk pemilu 2024. Mitos dalam semiotik Roland Barthes merupakan tipe pembacaan dan pemaknaan tentang sebuah tanda. Ketika Khittah menjadi sebuah tanda, maka secara otoritas, Pengurus NU pada level tertinggi cenderung memberikan pemaknaan sewenang-wenang, sehingga muncul konflik interpretasi baik antara pengurus maupun antara NU Struktural dengan NU kultural.

Memang harus diakui, sampai saat ini terjadi berbagai macam interpretasi terhadap khittah NU 1926. Masing-masing kelompok menginterpretasikan sesuai dengan kepentingannya hingga yang tampak kemudian adalah fragmentasi interpretasi, suatu pemahaman yang tidak utuh. Hal ini bukannya tidak baik, asal masih tetap berpijak pada semangat kebersamaan dengan konsisten pada nilai-nilai yang universal. Sehingga akan terjadi dialog dan kritik wacana yang lebih memacu dinamika internal warga NU.

NU sebagai realitas harus dipahami dari dua sisi, yakni NU sebagai realitas sejarah yang menyangkut realitas politik, juga NU sebagai realitas kultural yang menyangkut masalah realitas massa. Bagian pertama tentang realitas sejarah, pernah melandasi tindakan NU untuk kembali ke Khittah. Background sejarah ini memang dilandasi oleh realitas politik saat itu (baca Andree Feillard dan Martin van Bruinessen). Realitas politik saat itu memang merugikan banyak kepentingan-kepentingan politik dan strategis. Dan ini ditanggapi oleh kaum muda NU sebagai bentuk keprihatinan atas cita-cita pendiri NU.

Bagian kedua tentang realitas kultural merupakan realitas warga NU yang berada diluar Struktural. Realitas kultural ini yang cenderung menjadi kekuatan penyeimbang dari struktural NU dengan melakukan koreksi dan kritik (dalam makna Kant) terhadap keterlibatan struktur pengurus terhadap politik partisan. Banyak sekali kasus, keterlibatan struktur NU dalam dukung mendukung dalam pilpres, pilgub, pilbup terhadap calon tertentu sering kalah karena tidak berbanding lurus dengan pilihan warga kultural NU.

Pada pemilu 2024 saat ini, secara kasat mata dapat kita lihat adanya keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam pragmatisme politik partisan untuk mendukung paslon tertentu. Muncul pertanyaan, Apakah NU dimanfaatkan siapa atau NU memanfaatkan siapa? Apakah NU dimanfaatkan oleh orang luar NU ataukah orang dalam NU. Pertanyaan berikutnya adalah apa dan bagaimana kepentingan NU dalam pemilu 2024 itu?

Dari sini bagian kedua pembicaraan kita justru menjadi masalah yang penting untuk direnungkan bersama untuk menentukan apa dan bagaimana marwah NU yang sebenarnya.

Realitas kultural yang menyangkut realitas massa merupakan suatu kekuatan penyeimbang dalam mempertahankan marwah NU. Disinilah ambivalensi pengurus yang cenderung menggunakan logika kekuasan yang merasa berhak menerjemahkan dan memaknai Khittah. Dukungan terhdap capres-cawapres, baik dalam bentuk formal maupun non formal, seharusnya dihindari oleh pengurus sebagai penjaga Khittah. (habis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO