Organisasi Buzzer Sukses "Manipulasi Opini Publik", Kado Ulang Tahun Emas LP3ES

Organisasi Buzzer Sukses "Manipulasi Opini Publik",  Kado Ulang Tahun Emas LP3ES M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan---Mengerikan! Itulah kata yang pas untuk menggambarkan efek buruk para dan inlfuencer terhadap bangsa dan negara ini. Hasil penelitian Center for Media and Democrazy Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial () menunjukkan bahwa para dan influenzer itu adalah “kaki tangan” politikus yang selama ini telah berhasil “memanipulasi opini publik”.

Di antaranya dalam kasus revisi UU KPK. Mereka menciptakan tagar #KPKdanTaliban. Tujuannya untuk memberikan citra buruk bahwa di dalam KPK ada ekstremis dan radikalis. Citra buruk itu sengaja mereka cipta agar dalam jajak pendapat mereka bisa unggul.

Seperti ditulis Dahlan Iskan di Disway hari ini, Sabtu 21 Agustus 2021, penelitian itu dilakukan bertolak dari keprihatinan atas kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia. Memang. Sekarang, semua tokoh, terutama para peneliti dan intelektual, baik nasional maupun internasional, punya kesimpulan sama. Bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan luar biasa.

Loh valid atau obyektifkah hasil penelitian itu? Asal tahu saja adalah lembaga yang memiliki kredibilitas tinggi. Pada jaman Orde Baru dikenal sebagai lembaga independen sangat kritis. 

Pendiri antara lain Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendibudristek Nadiem Makarim) dan Ismet Hadad. Sementara alumninya adalah Menko PMK Prof Dr Muhadjir Effendy, Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN Dr Sofyan Djalil. Termasuk Dahlan Iskan, wartawan terkemuka di negeri ini, juga hasil didikan .

Tentu masih banyak tokoh lagi. Termasuk Prof Dr Didik J Rachbini yang kini jadi pemimpin .

Nah, Kamis kemarin berulang tahun ke-50. Dirayakan lewat Webinar. Menurut Dahlan Iskan, 25 orang lebih jadi pembicara, termasuk Nono Anwar Makarim, Dahlan Iskan, Muhajir Effendy, Dr Sofyan Djalil, dan yang lain.

Masih menurut Dahlan Iskan, Dr Wijayanto, Direktur Center for Media and Democrazy , menyerahkan buku baru untuk hadiah ulang tahun emas kemarin. Judulnya: Demokrasi Tanpa Demos. Buku berkualitas itu merupakan tulisan 100 ilmuwan terpilih. Termasuk 10 lebih Indonesianis (ahli Indonesia) dari negara-negara lain.

(Dahlan Iskan. foto: ist)

Widjayanto mengemukakan bahwa di media sekarang telah terjadi “manipulasi opini publik”. Hasil nyata dari manipulasi opini publik itu, salah satunya, revisi UU KPK. Ya ulah itu.

Wijayanto mengambil contoh hasil jajak pendapat Kompas. Ketika harian terkemuka di Indonesia itu melakukan jajak pendapat, hasilnya mengejutkan: yang setuju revisi 44,9 persen. Sedang yang mempertahankan UU KPK hanya 39,9 persen.

(Dr Wijayanto. foto Disway)

pun melakukan penelitian mendalam soal itu. Termasuk melakukan Social Network Analysis (SNA).

Dalam “organisasi” , kata Wijayanto, ada yang disebut front liner, koordinator, dan tangan kanan politikus. “Kami sampai mengetahui siapa mereka,” kata Wijayanto seperti dikutip Dahlan Iskan dalam tulisannya berjudul Organisasi Buzzer.

Di barisan front liner, kata Wijayanto, terdiri dari berbagai bidang. Ada yang tugasnya menciptakan meme, grafik, narasi kata-kata, mem-posting dan memperbanyak. Mereka ini umumnya orang yang direkrut lewat bayaran antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Atau ratusan ribu per minggu.

Di atas mereka adalah koordinator. Tapi para front liner itu tidak tahu siapa nama koordinator mereka.

“Di atas koordinator itu belum langsung si politikus. Tapi tangan kanan politikus,” kata Wijayanto. “Akhirnya kami tahu tagar apa arahnya ke politikus dari mana,” tambahnya.

Di luar itu ada yang disebut .Buzzer pasti tidak pakai nama asli. Kalau menunggunakan nama asli,” ujar Wijayanto.

Menurut Wijayanto, itu mainnya halus. Buzzer-lah yang memanfaatkannya habis-habisan. Bisa jadi antara influencer dengan tidak saling mengenal, tidak ada hubungan samasekali.

Wijayanto memberi contoh dalam kasus KLB Partai Demokrat. “Pak Mahfud pernah bilang, Pak SBY kan juga melakukan hal yang sama ketika Muhaimin (Iskandar-Red) mengambil alih PKB dari Gus Dur,” ujar Wijayanto. “Lalu memanfaatkan ucapan itu dengan menciptakan #SbyKenaKarma,” kata Wijayanto.

Yang juga menarik ketika Wijayanto mengemukakan tentang sikap Presiden SBY dan Presiden Jokowi dalam merespons opini publik di media massa. Menurut dia, Kompas pernah menulis berita utama berjudul: Pilkada Tidak Langsung akan Jadi Warisan Buruk SBY.

Waktu itu pemerintahan SBY memang lagi mengajukan RUU baru: agar Pilkada tidak perlu lagi secara langsung. Cukup kembali lewat DPRD.

SBY, tutur Wijayanto, merenung membaca berita utama Kompas itu. Lalu membatalkan RUU tersebut. Semua itu ia ketahui lewat wawancara orang-orang dekat SBY.

Tahun lalu, kata Wijayanto, Kompas juga memuat berita utama dengan judul mirip itu: Revisi UU KPK akan Jadi Warisan Buruk Jokowi.

Apa Jokowi juga merenung dan membatalkan? Hasilnya: UU KPK tetap saja direvisi.

Baiklah.

Tapi kenapa kualitas demokrasi menurun? Tahun lalu sebenarnya sudah pernah meliris masalah ini.

"Sebagian besar responden melihat bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam situasi yang suram berupa kemunduran," kata Wijayanto dikutip Tempo, Ahad, 23 Agustus 2020.

Secara total 44,7 persen responden menngatakan bahwa demokrasi berada dalam situasi suram, yaitu berupa kemunduran, stagnasi/kemandegan sebanyak 23,7 persen, dan berada dalam otoriterisme 28,9 persen. Hanya 2,7 persen responden yang menilai demokrasi mengalami kemajuan.

Penelitian tersebut juga menemukan 31 permasalahan yang menandai kemunduran demokrasi di Indonesia. 21 di antaranya muncul dalam hasil survei, dan sepuluh lainnya muncul dalam diskusi terfokus.

Di antara 21 masalah yang muncul dari hasil survei adalah politik uang dalam pemilu, macetnya kaderisasi partai politik, populisme dan politik identitas, hilangnya oposisi, korupsi politik, kabar bohong dan ujaran kebencian, rendahnya literasi politik, imunitas terhadap pelanggar HAM, dan lain-lain.

Sepuluh lainnya adalah dinasti politik, sentralisasi partai politik, nir ideologi partai, tidak ada kesetaran dan demokrasi di internal partai, untuk memanipulasi opini publik, dan beberapa lainnya.

Menurut penelitian ini, politik dinasti adalah salah satu masalah serius demokrasi. Wilayah praktik politik dinasti adalah Banten yaitu keluarga ratu Atut, dan Solo yaitu Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.

Juga soal oligarki politik yakni kekuasaan dan kekayaan dikuasai segelintir orang yang kini subur di Indonesia. Namun yang juga sangat buruk tentu saja dan cyber troops yang telah manipulasi opini publik dilakukan untuk kepentingan politik.

Saya tak tahu apakah para   itu bangga setelah baca hasil penelitian itu karena telah sukses memanipulasi opini publik. Atau justru merenung dan menyesal karena telah ikut andil merusak bangsa dan negaranya sendiri hanya demi kepentingan pragmatis, finansial, dan politik kotor. 

Yang pasti sejarah pasti mencatat siapa dan apa yang telah dilakukan oleh para aktor di negeri ini. Dan itulah yang akan diwarisi oleh generasi bangsa kelak. Wallahua'lam bisshawab.

Penulis, alumnus Pesantren Tebuireng, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater-Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Unair.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO