Tetapi yang menjadi hal menarik, kata Ucu, adalah tingkat indeks kebhinekaan di Jatim sangat tinggi. Indeks pemahaman tentang kebinekaan mencapai 91,1 persen, sementara indeks sikap kebhinekaan mencapai 75,7 persen. Sementara Potensi radikalisme di Jatim terbilang kecil, dari sisi pemahaman radikalisme yang dianut mencapai 9,2 persen dan sikap radikalisme mencapai 22,4 persen. Sedangkan dari sisi tindakan yang menjurus ke radikalisme mencapai 3,9 persen.
"Kita punya modal yang cukup besar di tingkat kebhinekaannya, sementara kita punya defisit atau kekurangan di literasi digital serta potensi radikalisme," ungkap Ucu.
Guru Besar UIN Sunan Ampel, Prof. Husniyatus Salamah Zainiyati yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua FKPT Jatim menegaskan, ada beberapa ciri yang bisa diketahui apakah orang tersebut terpapar radikalisme atau tidak.
Orang yang terpapar, ujarnya, biasanya akan mendadak anti sosial. Orang yang sudah terpapar, akan berubah menjadi anti pati terhadap kondisi lingkungan dan menghabiskan waktu di tempat yang dirahasiakan.
"Mereka juga mengalami perubahan sikap secara emosional, dan menampakkan sikap tidak umum. Orang yang terpapar radikalisme juga terlihat bermusuhan dengan organisasi moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah," ujarnya.
Menurutnya, ada tiga tingkatan radikalisme yang dihadapi Indonesia. Pertama tingkatan takfiri atau pemikiran. Kedua jihadis, yang secara tindakan telah melakukan teror atau sejenisnya. Dan, ketiga ideologis atau wacana. Radikalisme yang berada di tingkatan ketiga inilah yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Untuk itulah, sebagai warga Indonesia harus memahami dan menanamkan nilai-nilai empat pilar dalam kehidupan sehari-hari. Keempat pilar tersebut adalah Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. "Kita bisa menangkal radikalisme dengan wawasan kebangsaan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News