Oleh: M Mas’ud Adnan
Tahun 2016. Para dzuriyah Bani Hasyim Asy’ari berkumpul. Di kediaman Gus Kikin. Di Surabaya. Antara lain: Gus Sholah, Gus Umar Wahid dan tentu Gus Kikin sendiri. Meski Gus Kikin – nama lengkapknya KH Abdul Hakim – bertindak sebagai sohibul bait, tapi yang punya gawe Gus Sholah. KH Salahuddin Wahid.
BACA JUGA:
- Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November
- Keren! D Zawawi Imron dan 15 Penyair bakal Baca Puisi di Festival Pesantren Tebuireng
- Tren Santri Belajar di Luar Negeri, Sekarang Peluang Makin Besar dan Tak Terbatas
- Lagi, Kejutan dari Dapil Jatim VIII, Suara Gus Irfan Menyalip, Suara Bos Lion Air Melompat
Tampak juga para kiai. Para pengasuh pesantren di Jawa Timur. Yang saya ingat KH Mahfud Saubari. Pacet Mojokerto. Kiai yang punya empat istri, tapi hidup rukun dalam satu pekarangan.
Alumni Teburieng juga banyak hadir. Terutama yang sudah jadi kiai. Yang punya pesantren. Antara lain dari Madura.
Usai makan, para tokoh dan kiai itu duduk di kursi. Di ruang belakang kediaman Gus Kikin. Para dzuriyah duduk dekat Gus Sholah. Lalu para kiai. Saya duduk agak jauh. Tahu diri. Saya bukan dzuriyah. Juga bukan kiai.
Gus Sholah mimpin langsung pertemuan itu. Cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu bercerita. Tentang Yayasan Peduli Pesantren (YPP). YPP didirikan Hary Tanoesoedibyo. Biasa dipanggil Hary Tanoe. Ketua Umum Partai Perindo.
YPP mengkalim menyiapkan dana Rp 500 M. Untuk pesantren. Saat itu Hary Tanoe gencar sosialisasi Perindo. Nah, nama Gus Sholah tercantum. Sebagai Ketua Dewan Pengawas YPP. Selain Gus Sholah, KH Said Aqil Siroj juga tertulis sebagai Ketua Pembina YPP. Sedang Hary Tanoe ketua umum YPP.
Gus Sholah mengaku dilema. Banyak komentar negatif. Maka Gus Sholah mengundang keluarga (dzurriyah), kiai dan alumni Tebuireng. Minta pendapat.
Pertemuan dimulai. “Tapi sebelum yang lain, saya minta pendapat Dik Mas’ud dulu,” kata Gus Sholah. Tentu saja saya kaget. Gelagapan. “Bagaimana pendapat yang berkembang di masyarakat,” tambah Gus Sholah.
Saya menduga. Saya diminta pendapat pertama karena saya praktisi media. Jujur, saya grogi. Apalagi di hadapan para dzurriyah. Yang saya ta’dzimi. Juga para kiai. Yang rata-rata sepuh.
Memang selintas hati bangga. Karena Gus Sholah percaya kepada saya: santrinya. Saya merasa mendapat kehormatan. Tapi kecanggungan saya tak bisa saya tutupi.
Dengan penuh tawaddlu. Saya pun bicara. “Ngapunten Gus. Sebenarnya saya tak pantas. Bahkan saya grogi berpendapat pertama. Tapi karena jenengan mempersilakan, maka bagi saya ini sama dengan perintah,” kata saya. Suara parau.
Klik Berita Selanjutnya