Aliansi Perempuan Kabupaten Tuban Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Aliansi Perempuan Kabupaten Tuban Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Aksi kelompok mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual saat menggelar aksi damai di depan Gedung DPRD Kabupaten Tuban, Kamis (18/7).

TUBAN, BANGSAONLINE.com - Kelompok mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU tersebut di depan Gedung DPRD Kabupaten , Kamis (18/7).

Aksi ini diikuti puluhan peserta dari beberapa aliansi, meliputi Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) , Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Forum Anak Ronggolawe (FAR), Korpri, serta masyarakat sipil dan rumah perempuan mandiri.

Mereka menyoroti kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yamg masih terus terjadi di Indonesia. Sedangkan hingga kini, belum ada Undang-Undang (UU) yang menjadi landasan memberantas kejahatan ini.

Dari data yang dihimpun Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), sepanjang tahun 2017 hingga 2019, sudah terjadi sebanyak 98 kasus kekerasan perempuan di Kabupaten .

Dalam aksinya, mereka juga membawa spanduk yang bertuliskan tentang kecaman terhadap kekerasan seksual. Serta menampilkan aksi teaterikal tentang kekerasan yang terjadi kepada perempuan yang diperkosa oleh tetangganya. Namun, pelaku tidak mau bertanggungjawab.

“Stop kekerasan seksual, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan segerakan pengesahan RUU ini,” teriak Korlap aksi Nurul Aini.

Menurut Aini, aksi ini digelar sebagai bentuk solidaritas yang dilakukan serentak oleh jaringan perlindungan perempuan mulai dari Sabang sampai Merauke. Tujuannya, menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual serta membuka akses korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, serta jaminan agar tidak terulang.

"Sudah tiga tahun RUU ini diajukan, dan tahun ini saatnya untuk disahkan," ungkapnya.

Ada empat poin dari RUU tersebut, mulai dari mencegah tindak kekerasan seksual, menangani, melindungi, memulihkan korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

Puluhan massa itu juga meminta aparat penegak hukum mengoptimalkan penggunaan UU KDRT, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Mereka juga menyinggung penggunaan teknologi yang disalahgunakan untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban. Aini menilai, hal itu merupakan kekerasan berbasis cyber.

"Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan, baik mantan suami maupun pacar, jika korban menolak berhubungan seksual," paparnya.

Sementara hukum yang kerap digunakan untuk penanganan kasus-kasus seperti ini adalah UU Pornografi dan UU ITE, yang dalam penerapannya justru dapat mengkriminalkan korban. Dalam hal ini perempuan korban mengalami ketidaksetaraan di depan hukum, karena hukum yang tersedia lebih berpotensi menjerat korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan.

“Pemerintah dan DPR RI perlu segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual. Aparat Penegak Hukum perlu mengoptimalkan penggunaan Undang-Undang PKDRT, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan produk hukum lainnya,” pungkasnya. (gun)

Lihat juga video 'Perahu Penyeberangan Tenggelam di Bengawan Solo, Belasan Warga Dilaporkan Hilang':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO