Minta Maaf pada Gereja, Takmir Masjid Jami Malang Dapat Simpati

Minta Maaf pada Gereja, Takmir Masjid Jami Malang Dapat Simpati Zainuddin A Muhit, Takmir Masjid Jami Kota Malang. Foto: vivanews.com

Kakek dari lima orang cucu ini adalah produk dari sekolah negeri di Kota Malang serta beruntung dipertemukan dengan lautan ilmu pengetahuan agama yang luas di UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta (dulu IAIN) sekitar tahun 1960-an. Di masa mudanya yang penuh dengan idealisme tentang keagamaan, takmir kelahiran Kecamatan Turen Kabupaten Malang itu, telah terbiasa bertukar tugas menjadi khatib saat salat Jumat dengan jemaah Ahmadiyah di Yogyakarta. Tak ada masalah dan tak perlu canggung dengan perbedaan.

"Kebenaran itu bisa datang dari mana saja, Islam, Kristen, Hindu Buddha semuanya adalah agama samawi. Ada hal-hal dalam hal kemanusiaan yang bisa berlaku universal bagi semua manusia,” katanya.

Reaksi pengurus

Tak disangkanya sikap spontan itu merebak di media sosial, berawal dari Facebook, Twitter hingga YouTube. Namun hingga saat ini mantan dosen di UIN Maliki Malang ini tak pernah sekalipun membaca beritanya di internet. Jangankan internet, telepon selular pun dia tak punya.

“Saya tahu dari anak dan cucu saya, kemudian Kamis kemarin ada wartawan yang ingin bertemu saya. Saya gaptek, telepon saja pakai telepon rumah,” imbuhnya.

Namun sikap sederhana tersebut tak diduga membawa dampak besar. "Ada takmir minta maaf, ini kabar menyejukkan bagi kita. Kami merasa lebih aman dan nyaman beribadah sesuai kepercayaan,” kata Diaken Wido Pradipto, Ketua II Bidang dan Masyarakat GPIB Immanuel.

Pemuda inilah yang satu minggu sebelumnya mengantar surat pemberitahuan kepada Masjid Agung Jamik Malang. Dia mengingat, tempo satu minggu tergolong mendadak. Jika ada pemberitahuan apapun yang menyangkut hajat ke dua umat berbeda, setidaknya surat dikirim satu bulan sebelumnya, ini tergolong mendadak,” katanya.

Minggu itu memang tergolong istimewa. Bagi gereja dengan 1.000 jemaah itu, setidaknya ada dua kali misa yang diundur waktunya. Misa pagi jadi lebih siang, sementara misa sore datang lebih awal yang sore biasanya mulai pukul 19.00 dimajukan jadi pukul 18.00 karena mengantisipasi takbiran,” lanjutnya.

Komunikasi dan toleransi yang terbangun apik antara dan Masjid menurutnya juga muncul ketika ke dua pihak sama-sama menolak rencana Wali Kota Malang terdahulu, Peni Suparto, yang hendak membangun mal bawah tanah tepat di bawah Alun-Alun Kota Malang.

"Itu sekitar dua tahun lalu, kami kompak menolak rencana itu,” tuturnya.

Saat itu, identitas keagamaan melebur ketika sejarah akan terusik. Perbedaan kepentingan agama pun berubah jadi toleransi ketika sadar keamanan dan kenyamanan bersama hadir dari kehidupan bermasyarakat saat ini.

"Waktu Natal kami juga dapat penjagaan dari Banser. Hubungan ini kalau kata umat Islam itu seperti Hablum Minannaas (hubungan manusia dengan manusia), selain Hablum Minallah (hubungan manusia dengan Allah),” ujarnya.

Dia percaya budaya toleransi sebenarnya muncul kuat di seluruh Indonesia. Di Malang keurukunan ini terungkap dari banyak sikap yang konkret antara berbagai pemeluk agama. Komunikasi dan kerendahan diri jadi jembatan pengertian. Bahkan masalah pembangunan rumah ibadah yang sulit pun bisa diatasi dengan komunikasi. Di banyak daerah, konflik sering dipicu akibat sulitnya mendapat izin pembangunan rumah ibadah.

"Sampai saat ini pembangunan gereja kami di Malang Raya tidak pernah bermasalah. Kami tidak tahu kalau umat yang lain. Yang penting sesuai aturan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat setempat,” katanya. (ms)

Sumber: vivanews.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO