Tafsir Al-Nahl 81: Fashion

Tafsir Al-Nahl 81: Fashion

Kedua, orang yang hatinya tidak terisi taqwa, keimanannya lemah, maka pasti enggan menutup aurat, enggan berjilbab dengan sekian alasan. Baginya, berjilbab bukan perintah agama melainkan konstruksi budaya. Maunya, bila jilbab itu budaya, maka hanya berlaku di negeri jilbab saja, seperti umumnya negara Timur Tengah. Sementara di negeri ini, budayanya beda, maka pakai berpakaian disesuaikan budaya setempat, walau itu pakaian kemben dengan terbuka di bagian dada atau koteka pakaian adat suku Asmat Irian yang hanya menutup kemaluan saja.

Pikiran mereka hanya terhenti sampai di situ demi membela nafsu dan hobi telanjangnya. Pikiran mereka tidak dilanjutkan dan sengaja tidak mau melanjutkan ke rana yang lebih hegemonik. Mislnya ketika budaya bersinggungan dan telah membaur dengan agama, lalu agama melegalkan budaya tersebut sebagai bagian dari diktum syariah dengan turunya al-Qur'an yang dikuatkan pula oleh al-Hadis dan dipraktikkan pada masa syari'ah itu. Saat budaya diadopsi dan dilegalkan oleh syari'ah, apakah tetap berstatus sebagai budaya murni atau sudah menjadi syari'ah agama?.

Bagi wanita yang di dalam hatinya ada libas al-Taqwa, pancaran keimanan, cahaya taqwa, maka pasti memandang jilbab adalah syari'ah agama dan bukan budaya lagi. Budaya hanyalah piranti menuju syariah yang sempurna. Hal itu terjadi karena hati yang bersih pasti cenderung ke syari'ah yang bersih

Tidak demikian dengan hati wanita yang dipenuhi kemunafikan dan dikuasai nafsu syetan, maka cenderung memandang jilbab sebagai tradisi yang longgar, bisa ditaati dan tidak apa-apa ditinggalkan, suka-suka sesuai kemauan. Harap maklum, karena nafsu dan kemunafikan adalah produk syetan dan sekaligus kontra cahaya Tuhan, sehingga tidak siap mematuhi perintah Tuhan.

Ketiga, orang yang menutup aurat dan disiplin berjilbab tidak pasti hatinya penuh ketaqwaan, tapi orang yang hatinya penuh taqwa pasti disiplin berjilbab. Kadang berjilbab sebagai hobi, mode, profesi atau bagian dari kerja bisnisnya, sehingga tampil berjilbab lebih sebagai promosi atas barang dagangan dan usahanya.

Tidak sedikit artis tampil berjilbab, tapi cuma sebentar sesuai kondisi dan mood-nya. Marshanda adalah salah satu di antara mereka. Artis muda itu pernah tampil berjilbab dan promosi ke mana-mana, menjadi pembicara keislaman di kalangan cewek-cewek remaja sehingga menarik simpati publik. Sayang, setelah kehidupannya krodit dan bermasalah, dia lepas jilbab itu dan persyetan. Hingga kini, dia kembali terbuka lagi.

Keempat, jangan membuat perbandingan tidak adil. Misalnya begini: Lebih baik tidak berjilbab tapi akhlaqnya bagus dari pada berjilbab tapi akhlaqnya rusak. Lebih baik dari itu semua adalah berjilbab dan akhlaqnya bagus, sehingga lahiriahnya bagus dan batiniahnya juga bagus. Orang yang berjilbab dan bermaksiat, berarti sudah mengamalkan syari'ah lahiriah, maka mendapat pahala. Kurangnya adalah pada moralitas dan inilan yang diperbaiki.

Sedangkan orang yang tidak maksiat tapi tidak juga berjilbab, maka bagus moral, tapi dosa karena tidak berjilbab dan inilah yang mesti diaktifkan. Tidak ada kata percuma dalam agama. Misalnya, percuma jungkar jungkir shalat, sementara tetap doyan maksiat. Atau percuma berjilbab, ternyata tetap doyan maksiat. Shalatnya tidak percuma dan bisa menggugurkan kewajiban, lalu mendapat pahala. Tuhan tidak pernah menyatakan itu, karena Dia Maha arif dan bijak. Yang terparah adalah, sudah tidak berjilbab, moralnya bejat. Na'udz billah min dzalik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO