Tafsir Al-Nahl 69: Gerhana, Matahari Malu Melihat Kita

Tafsir Al-Nahl 69: Gerhana, Matahari Malu Melihat Kita Gerhana Matahari. foto: ilustrasi

Hari itu, ketepatan Gus Ibrahim, putra Nabi Muhammad SAW wafat. Masyarakat Arab meyakini bahwa Matahari ikut berkabung dan berbelasungkawa. Anggapan itu masih sedemikian kental, meski islam telah bersinar di Madinah. Nabi segera mengoreksi dengan mengarahkan ke rana ibadah yang positif. Nabi mendudukkan persoalan gerhana pada tempatnya, yakni sebatas fenomena alam biasa dan tidak lebih.

Kerja purifikasi teologis ini dilakukan Nabi tidak hanya pada peristiwa gerhana saja, melainkan ada di banyak hal. Misalnya, mengganti nama hari yang berasal dari kepercayaan Yunani kuno. Hari Dewa Matahari (Sunday), Hari Dewa Rembulan (Monday) dan seterusnya yang berbau syirik diganti dengan hitungan-hitungan biasa, hari Ahad (pertama), hari Senin (kedua) dan seterusnya. Nama kecil Abu Bakar adalah Abd Syams (hamba dewa matahari), oleh nabi diganti dengan Abdullah (hamba Allah).

Kemudian ditunjuk empat perintah ketika seseorang menjumpai gerhana, yakni: Pertama, Berdoa. Berdoalah memohon kebaikan, segala yang fenomena buruk seperti terlambangkan pada peristiwa gerhana agar dijauhkan. Kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, kemaksiatan, kebrutalan, kekerasan moga lenyap dan berganti cahaya baru.

Kedua, bertakbir. Memerankan Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Agung. Karena keagungan-Nya, maka tidak ada yang tidak beres di tangan Yang Maha Agung.

Ketiga, shalatlah. Dengan shalat, setidaknya semua tahayyul negatif lenyap dan yang ada hanyalah Allah SWT saja. Hikmah lain, dengan shalat di tempat tertutup, pandangan mata merunduk, pastilah aman dari efek buruk gerhana, semisal sakit mata. Nabi tidak menjelaskan efek buruk gerhana karena pengetahuan umat waktu itu belum ke sana. dan keempat, bersedekah. Selain amal kemanusiaan, sedekah adalah tolak balak.

Tapi sayang, islam sudah mengikis keyakinan negatif dan riak-riak kesyirikan akibat gerhana, kini masih diangkat-angkat lagi kepercayaan Jowo Tengik yang menyesatkan. Katanya, matahari sedang dimakan Buto Ijo. Gambar dan ikon dipajang. Lalu dipentaskan pada pagelaran atas nama seni. Bagi umat beriman, hal itu tidak bisa dipandang hanya murni seni. Semoga Tuhan menjaga keimanan kita tetap murni bersinar dan tidak gerhana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO