(Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Foto: Antara)
Masih menurut Tempo, peran sebagai kingmaker itu dilakukan Jokowi dengan menjadikan diri sebagai model dengan memobilisasi kekuatan populis. Padahal itu masuk dalam pelanggaran.
“Ia lupa bahwa dalam soal jabatan presiden, konstitusi memposisikan presiden sebagai pengemban amanat dan pelaksana undang-undang, bukan kreator kekuasaan,” tulis Tempo lagi.
Dengan mandat ini, menurut Opini Tempo, Jokowi hendaknya tidak menghabiskan sisa waktu dengan sibuk berakrobat politik seraya melepaskan kewajiban-kewajiban mandatorialnya.
Kenapa Jokowi ingin jadi kingmaker?
Tempo menulis bahwa itu tak lepas dari langkah buruk – untuk tidak menyebut sebagai pelanggaran undang-undang. Menurut opini Tempo, muncul dugaan bahwa dukungan Jokowi kepada banyak kandidat bertujuan mengamankan dirinya dari risiko politik dan hukum setelah 2024.
“Terutama pada periode kedua kekuasaannya, Jokowi banyak melahirkan masalah bagi demokrasi,” tulis Opini Tempo.
Apa saja? Opini Tempo menyebut, antara lain: tekanan terhadap kelompok kritis, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kreasi Undang-Undang Cipta Karya.
Juga pelemahan lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kehakiman serta merajalelanya oligarki.
Menurut Opini Tempo, semua itu tak lepas dari peran Jokowi. “Sulit dipisahkan dengan peran Jokowi,” tulis Opini Tempo.
Opini Tempo juga menulis bahwa leluasanya Jokowi berakrobat sebagai kingmaker tak lepas dari hilangnya fungsi partai politik dalam mendorong lahirnya pemimpin Indonesia masa depan yang tidak terkungkung tujuan jangka pendek.
Partai politik menutup pintu terhadap kandidat alternatif lewat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Dengan dalih pemangkasan biaya, aturan itu mengabaikan substansi demokrasi yang memberikan kesempatan secara adil kepada publik menjadi presiden.
Akibatnya, konvensi partai politik yang menyaring calon presiden dari lapis paling bawah – seperti dilakukan di negara-negara maju – tak dilakukan terutama karena dalih doktrin: wewenang tertinggi partai politik berada di tangan ketua umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News