Tafsir Al-Nahl 80: Bulu Babi, Silakan Dipakai Sikat Kopyah

Tafsir Al-Nahl 80: Bulu Babi, Silakan Dipakai Sikat Kopyah Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .

BANGSAONLINE.com - "Waallaahu ja’ala lakum min buyuutikum sakanan waja’ala lakum min juluudi al-an’aami buyuutan tastakhiffuunahaa yawma zha’nikum wayawma iqaamatikum wamin ashwaafihaa wa-awbaarihaa wa-asy’aarihaa atsaatsan wamataa’an ilaa hiinin".

Isi ayat studi (80) bagian kedua adalah soal bulu binatang. Aswaf (shuf) adalah bulu halus, awbar (wabar) adalah bulu kasar dan asy'ar (sya'r) adalah bulu umum. Al-Qurtuby memilah begini: Aswaf sebagai bulu domba, awbar adalah bulu unta dan asy'ar adalah bulu kambing, kambing Jowo, kambing kacang. Ketiga-tiganya ini sebagai servis Tuhan untuk umat manusia, "atsatsa wa mata'a il hin". Dengan sifat ini, maka secara umum bulu-bulu tersebut bermanfaat, yakni boleh dipakai.

Abu Hanifah adalah yang paling loyal memakai ayat ini sebagai dalil kesucian semua jenis bulu. Bulu apa saja, baik dari binatang hidup atau sudah mati, baik yang halal seperti kambing maupun yang haram seperti babi. Semuanya suci dan bisa dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Bulu babi yang indah dan bagus itu jangan dibuang, keringkan dan manfaatkan untuk sikat kopyah atau apa saja. Tapi jangan dimakan.

Lebih spektakuler dari itu, Abu Hanifah menambahkan, termasuk juga tulang, tanduk, gigi, gading dan kukunya, suci semua seperti bulunya. Tapi bagian akhir ini yang ditentang ulama lain seperti Malik dan al-Syafi'ie. Tanduk dan sebangsanya tadi tetap najis. Sementara al-Hasan al-Bashry agak hati-hati dan menambahkan: "bahwa bulu-bulu itu bisa suci bila disucikan lebih dulu, dibasuh dengan air".

Hadis riwayat Umm Salamah berkisah, ada kambing mati, lalu nabi menganjurkan agar kulitnya disamak. Dikuliti lebih dahulu, dibersihkan dan dikeringkan, maka bisa dimanfaatkan. Karena kambing sebagai contoh kasus, maka ulama memandang, bahwa kulit yang bisa disamak hanya kulit hewan yang halal dagingnya. Babi dan anjing dan hewan spesies baru yang lahir darinya tidak bisa.

Persoalannya kini adalah, apakah proses samak tersebut bisa mengubah keadaan najis menjadi suci atau sekedar pembolehan pemakaian saja, sementara kulit tetap najis?. Kulit samakan teap haram dimakan. Bagi ulama yang mengatakan proses samak mengubah najis menjadi suci, seperti madzahab syafi'iy, maka kulit samakan boleh dipakai sajadah shalat. Bagi ulama yang mengatakan tidak, hanya sekedar boleh pakai saja (intifa'), seperti pendapat al-Zuhry, maka menggunakan kulit samakan sebagai sajadah, maka shalat dihukumi tidak shah.

Soal kulit samakan, madzhab paling ketat adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Bahwa, meski sudah disamak, kulit bangkai tetap najis dan tak boleh dimanfaatkan. Kulit sama dengan daging. Bila dagingnya najis, maka kulitnya juga najis. Soal Hadis Umm Salamah, bagi Ahmad, Hadis itu direvisi oleh Hadis lain yang melarang yang disabdakan nabi sebulan sebelum beliau wafat (al-Jami' li Ahkam al-Qur'an:X/157). Allah a'lam.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO